Senin, 18 Juni 2012

CERPEN - Pertemuan Terakhir


PERTEMUAN TERAKHIR

Awan mendung menutupi kota, sedang musim hujan memang. Pagi ini pun hujan masih turun, walau tak sederas tadi malam.
Apakah kau juga ikut merasakan kepedihanku, awan. Keluh seorang remaja dibalik jendela kamarnya. Matanya sembab karena habis menangis semalaman Ia menerawang keluar jendela, menatap awan kelabu dengan air mata yang kembali menetes di pipinya, mengingat kejadian kemarin yang membuat hatinya terluka.
Suara dering handphone membuyarkan lamunannya. Dengan malas ia mengambil handphone yang tergeletak di atas meja. Tertera nama sahabatnya di layar.
Halo?” ucapnya lirih.
Halo, Diza? Ya ampun, Za. Kamu kemana aja? Aku khawatir sama kamu. Aku telepon berulang kali tapi mailbox terus, sms nggak masuk-masuk. Kenapa sih, Za? Cerita dong. sama aku, aku kan sahabat kamu, ” timpal suara diseberang telepon dengan tak sabarnya.
Aku nggak apa-apa, kok.” jawab Diza seadanya.
Nggak apa-apa, gimana! Aku kemarin telepon ke rumah kamu. Kata Tante kamu mengurung diri dikamar. Gila kamu, ya! Bikin aku sama Tante jadi was-was kayak gini,” ujar Echa emosi. Diza tak segera menjawab, berusaha menahan air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya.
Dengar ya, Diza.” emosi Echa menurun, “Aku tahu, kamu sedih banget dengan kejadian kemarin. Jujur, aku nggak nyangka Amel bakal ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Tapi mau gimana lagi, itu semua udah terjadi...”
Tapi sikapnya udah keterlaluan, Cha. Kamu nggak tau gimana terlukanya aku. Aku nangis semalaman gara-gara dia. Dia bukan Amel yang aku kenal dulu. Dia berubah, Cha…” potong Diza, tangisnya pecah.
Diza…” suara Echa terdengar iba.
Mungkin semuanya salahku. Aku yang merespon ajakan Rio, dan aku yang berjalan berduaan dengannya. Tapi itu kulakukan demi Amel, tanpa ada maksud untuk merebut Rio darinya. Kenapa dia nggak ngerti tentang hal itu?”
Itu bukan hal yang mudah untuk dimengerti, Diza. Persahabatan dan cinta butuh pengertian lebih. Di mata kamu persahabatan adalah segalanya, tapi di mata Amel justru cinta yang segalanya. Itulah alasan kenapa dia lebih memilih Rio daripada kita,” ujar Echa memberi penjelasan. “Sekarang, kamu ganti baju. Setengah jam lagi kujemput,” tambahnya.
Kita... mau kemana?” tanya Diza, tangisnya mereda.
Ke rumah Amel.”
Tapi…”
Za,” potong Echa. “Kita butuh kepastian. Aku nggak mau persahabatan kita gantung kayak gini. Daripada kamu nyesel terus-terusan.”
Aku belum siap, Cha,” keluh Diza, berharap Echa mengerti perasaannya.
Kalau kamu nurutin perasaan, sampai kapan pun kamu nggak bakal siap dengan semua ini. Lagipula, aku di sini bakal dukung kamu, Oke. Sekarang, siap-siap sana!”
Klik! Perintah Echa mengakhiri obrolan mereka. Diza terpaku sesaat, meresapi semua perkataan Echa. Memang, ada benarnya. Ia takkan benar-benar siap dengan semua ini, tapi untunglah ada Echa yang selalu mendukungnya. Ia bersyukur mempunyai sahabat seperti Echa.
Diza segera berganti pakaian dan menata diri di depan cermin, saat sebuah bingkisan biru menyita perhatiannya. Membuatnya teringat kembali akan kejadian kemarin.
Saat itu sedang turun hujan. Di depan sebuah toko, Diza dan Rio berteduh menghindari tangisan awan. Tiba-tiba saja sesosok remaja cewek datang menghampiri mereka dengan ekspresi marah.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Diza.
Heh! Kamu sahabat macam apa sih! Seenaknya aja ngerebut cowok orang! Rio itu milikku, ngapain kamu jalan berduaan dengan dia! Dasar, cewek gatel!” maki Amel.
Mel, kamu salah paham. Aku sama Rio nggak ada apa-apa,” bantah Diza sambil memegang pipinya.
Halah! Jelas-jelas aku lihat kalian jalan berdua. Kalau nggak ada apa-apa, ngapain Rio beliin kamu cincin itu!” ujar Amel sambil menunjuk sebuah cincin yang sedang dibawa Rio.
Ini buat kamu, Mel. Rio beliin ini buat kamu. Dia mau ngasih kejutan. Dia ngajak aku, karena ukuran jarimu hampir sama denganku. Cuma itu aja, nggak lebih, Mel,” ujar Diza menjelaskan semua.
Bohong! Aku nggak percaya sama kamu! Aku lebih percaya mataku yang melihat kalian berduaan! Kamu bukan sahabatku lagi, kamu penghianat!” Amel segera pergi, diikuti Rio yang hanya bisa menundukkan kepala. Diza masih terdiam, menatap Amel yang menghilang dalam hujan. Air mata membasahi pipinya, seiring dengan tangisan awan yang semakin deras.
Tiiin… Tiiin…
Bunyi klakson mobil membuyarkan lamunannya lagi. Itu pasti mobil Echa. Dengan segera ia menghapus air mata yang menetes di pipinya, berkaca sekali lagi, dan mengambil bingkisan biru yang tergeletak di sampingnya.
Hujan mulai reda ketika mobil Echa meluncur ke jalanan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Echa fokus menyetir mobil, dan Diza menatap keluar jendela, memikirkan apa yang akan terjadi nanti di rumah Amel.
Itu apa?” tanya Echa memecah kesunyian dalam mobil. Namun Diza tak menjawab, sepertinya ia masih sibuk dengan pikirannya.
Za!” tegur Echa, membuat Diza tersentak.
Hah?” jawab Diza kaget.
Yee… kok malah bengong,” ucap Echa sewot. “Yang kamu bawa itu apa?”
Oh, ini. Ini kado buat Amel. Sebuah cangkir putih yang terlukis foto dia dan foto kita bertiga,” ucapan Diza terdengar menggantung, “Dulu…”
Echa tak menjawab. Ia tahu, bagi Diza persahabatan adalah segala-galanya. Tidak ada yang lebih berharga daripada sahabat. Itu yang membuat Diza begitu pengertian, dan rela melakukan apapun demi sahabatnya. Tapi entah mengapa, kejadian kemarin, sepertinya membutakan mata Amel, membuat kebaikan-kebaikan Diza padanya, menghilang begitu saja, dan berganti dengan kebencian.
Kita udah sampai,” ucap Echa sambil mematikan mesin mobil. “Siap?”
Diza menatap Echa, ia menggelengkan kepala. “Kamu aja yang masuk. Aku tunggu di mobil,” ujarnya datar.
Eh, nggak bisa gitu dong,” protes Echa. “Yang punya masalah kan kamu, ya kamu yang harus maju. Kalau aku sih, cuma ikut-ikutan aja. Hehehe…” Echa terkekeh.
Dasar! Tapi kamu ikut masuk ya, aku nggak sanggup ngejelasin ke Amel sendirian,” pinta Diza.
Siiip…” Echa mengacungkan jempolnya.
Mereka turun dari mobil, menatap rumah dihadapan mereka. Dengan yakin, mereka melangkah memasuki pekarangan rumah, tampak dari kejauhan sosok Amel yang sedang duduk bercanda dengan Rio di ruang tamu.
Namun sepertinya canda itu terhenti, ketika Amel melihat Diza dan Echa di depan rumahnya. Rasa amarah memenuhi hatinya, keinginan untuk menampar Diza lagi sempat terlintas dipikirannya. Dengan nada marah, ia membentak Diza, yang baru saja selangkah memasuki pintu rumah, “Ngapain kamu kesini! Masih berani ternyata!”
Diza hanya menundukkan kepala, tak berani menatap sahabatnya. Ia tahu, bahwa Amel akan memarahinya, memakinya, bahkan mungkin mengusirnya, sebelum ia sempat berkata sepatah kata pun kebenaran.
Dia mau ngejelasin semuanya, Mel,” ujar Echa.
Ngejelasin apa? Nggak ada yang perlu dijelasin. Semuanya udah jelas, bahwa dia mau ngerebut si Rio. Dasar, cewek gatel!” maki Amel habis-habisan.
Kasih dia kesempatan ngomong dong, Mel,” pinta Echa, membela.
Oh, jadi sekarang kamu ngebela dia. Cih, nggak level banget!”
Aku nggak ngebela dia. Aku hanya ingin masalah ini selesai. Aku nggak mau persahabatan kita hancur cuma karena masalah kayak gini.”
Persahabatan kita emang udah hancur, gara-gara cewek ini! Udahlah, ngapain sih kamu bela dia, kurang kerjaan aja.” Amel tampak merendahkan.
Cukup!” Diza membuka suara. “Aku tahu, meskipun aku jelasin semuanya, itu bakal sia-sia. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa nggak ada sedikit pun niat buat ngerebut Rio dari kamu…”
Bohong!” bantah Amel.
Semua kulakukan demi kamu, Mel.” air mata Diza membasahi pipinya. Suasana mulai tak menyenangkan. Hujan mulai turun, seperti ikut menemani kesedihan Diza.
Kamu bohong! Aku nggak percaya sama kamu! Asal kamu tahu, aku udah anggap kamu sebagai musuh. Jadi, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku nggak mau lihat kamu lagi!” usir Amel.
Mel, dengerin Diza dulu,” pinta Echa.
Pergi!!” bentak Amel dengan nada yang semakin meninggi.
Mel, maafin aku,” ucap Diza mengiba, menyerahkan bingkisan biru yang dipegangnya dari tadi, “Aku mau, kamu terima ini.”
Aku nggak butuh hadiah dari kamu.” tangan Amel merampas kado itu, dan melemparnya ke dinding. Terdengar suara pecah, bersamaan dengan kilat yang menggelegar.
Diza diam membeku. Menatap bingkisan biru yang kini berisikan pecahan-pecahan gelas. Ia tak menyangka, Amel tega melakukan hal itu. Menerima kadonya saja Amel tak mau, apalagi memaafkan dirinya. Seketika itu juga, tangisnya pecah. Ia sudah berputus asa. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan persahabatan mereka. Persahabatan mereka hancur, karena dirinya.
Diza menangis, pergi meninggalkan Echa dan Amel. Ia berlari keluar rumah, menembus hujan deras yang membasahi seluruh tubuhnya.
Diza,” panggil Echa. Ia mulai panik, takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Ia berniat menyusul, namun Amel mencegahnya.
Ngapain dikejar, cewek kayak gitu nggak usah dibela. Biarin aja dia,” kata-kata Amel terdengar sinis.
Echa menepis tangan Amel, rasa marah menyelimutinya. “Aku kecewa sama kamu. Dia udah berbuat baik sama kamu, tapi kamu malah ngelakuin itu ke dia. Justru kamu yang harusnya minta maaf.” suara Echa meninggi. Amel hanya diam, tak menanggapi perkataan Echa. “Udahlah, benar kata Diza. Kamu memang nggak bakalan mengerti dengan semuanya,”
Ia segera mengambil bingkisan biru itu, dan pergi meninggalkan Amel. Mungkin itu adalah pertemuan terakhir mereka. Tapi Echa tak peduli, ia hanya memikirkan tentang Diza. Ia tahu, pikiran Diza sedang kacau. Berada disampingnya dan menyemangatinya adalah sesuatu yang harus Echa lakukan saat ini. Setengah berlari mengejar Diza dalam hujan, ia menyadari satu hal.
Persahabatan yang hancur, seperti gelas yang pecah. Walaupun kau coba untuk memperbaikinya, tapi bekas pecahan itu masih akan membekas, dan takkan hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar