PERTEMUAN
TERAKHIR
Awan mendung
menutupi kota, sedang musim hujan memang. Pagi ini pun hujan masih
turun, walau tak sederas tadi malam.
Apakah kau juga
ikut merasakan kepedihanku, awan.
Keluh seorang remaja dibalik jendela kamarnya. Matanya sembab karena
habis menangis semalaman Ia menerawang keluar jendela, menatap awan
kelabu dengan air mata yang kembali menetes di pipinya, mengingat
kejadian kemarin yang membuat hatinya terluka.
Suara dering
handphone membuyarkan lamunannya. Dengan malas ia mengambil handphone
yang tergeletak di atas meja. Tertera nama sahabatnya di layar.
“Halo?” ucapnya
lirih.
“Halo, Diza? Ya
ampun, Za. Kamu kemana aja? Aku khawatir sama kamu. Aku telepon
berulang kali tapi mailbox terus, sms nggak masuk-masuk. Kenapa sih,
Za? Cerita dong. sama aku, aku kan sahabat kamu, ” timpal suara
diseberang telepon dengan tak sabarnya.
“Aku nggak
apa-apa, kok.” jawab Diza seadanya.
“Nggak apa-apa,
gimana! Aku kemarin telepon ke rumah kamu. Kata Tante kamu mengurung
diri dikamar. Gila kamu, ya! Bikin aku sama Tante jadi was-was kayak
gini,” ujar Echa emosi. Diza tak segera menjawab, berusaha menahan
air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya.
“Dengar ya, Diza.”
emosi Echa menurun, “Aku tahu, kamu sedih banget dengan kejadian
kemarin. Jujur, aku nggak nyangka Amel bakal ngelakuin hal kayak gitu
ke kamu. Tapi mau gimana lagi, itu semua udah terjadi...”
“Tapi sikapnya
udah keterlaluan, Cha. Kamu nggak tau gimana terlukanya aku. Aku
nangis semalaman gara-gara dia. Dia bukan Amel yang aku kenal dulu.
Dia berubah, Cha…” potong Diza, tangisnya pecah.
“Diza…” suara
Echa terdengar iba.
“Mungkin semuanya
salahku. Aku yang merespon ajakan Rio, dan aku yang berjalan berduaan
dengannya. Tapi itu kulakukan demi Amel, tanpa ada maksud untuk
merebut Rio darinya. Kenapa dia nggak ngerti tentang hal itu?”
“Itu bukan hal
yang mudah untuk dimengerti, Diza. Persahabatan dan cinta butuh
pengertian lebih. Di mata kamu persahabatan adalah segalanya, tapi di
mata Amel justru cinta yang segalanya. Itulah alasan kenapa dia lebih
memilih Rio daripada kita,” ujar Echa memberi penjelasan.
“Sekarang, kamu ganti baju. Setengah jam lagi kujemput,”
tambahnya.
“Kita... mau
kemana?” tanya Diza, tangisnya mereda.
“Ke rumah Amel.”
“Tapi…”
“Za,” potong
Echa. “Kita butuh kepastian. Aku nggak mau persahabatan kita
gantung kayak gini. Daripada kamu nyesel terus-terusan.”
“Aku belum siap,
Cha,” keluh Diza, berharap Echa mengerti perasaannya.
“Kalau kamu
nurutin perasaan, sampai kapan pun kamu nggak bakal siap dengan semua
ini. Lagipula, aku di sini bakal dukung kamu, Oke. Sekarang,
siap-siap sana!”
Klik! Perintah
Echa mengakhiri obrolan mereka. Diza terpaku sesaat, meresapi semua
perkataan Echa. Memang, ada benarnya. Ia takkan benar-benar siap
dengan semua ini, tapi untunglah ada Echa yang selalu mendukungnya.
Ia bersyukur mempunyai sahabat seperti Echa.
Diza segera berganti
pakaian dan menata diri di depan cermin, saat sebuah bingkisan biru
menyita perhatiannya. Membuatnya teringat kembali akan kejadian
kemarin.
Saat itu sedang
turun hujan. Di depan sebuah toko, Diza dan Rio berteduh menghindari
tangisan awan. Tiba-tiba saja sesosok remaja cewek datang menghampiri
mereka dengan ekspresi marah.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Diza.
“Heh! Kamu
sahabat macam apa sih! Seenaknya aja ngerebut cowok orang! Rio itu
milikku, ngapain kamu jalan berduaan dengan dia! Dasar, cewek gatel!”
maki Amel.
“Mel, kamu salah
paham. Aku sama Rio nggak ada apa-apa,” bantah Diza sambil memegang
pipinya.
“Halah!
Jelas-jelas aku lihat kalian jalan berdua. Kalau nggak ada apa-apa,
ngapain Rio beliin kamu cincin itu!” ujar Amel sambil menunjuk
sebuah cincin yang sedang dibawa Rio.
“Ini buat kamu,
Mel. Rio beliin ini buat kamu. Dia mau ngasih kejutan. Dia ngajak
aku, karena ukuran jarimu hampir sama denganku. Cuma itu aja, nggak
lebih, Mel,” ujar Diza menjelaskan semua.
“Bohong! Aku nggak
percaya sama kamu! Aku lebih percaya mataku yang melihat kalian
berduaan! Kamu bukan sahabatku lagi, kamu penghianat!” Amel segera
pergi, diikuti Rio yang hanya bisa menundukkan kepala. Diza masih
terdiam, menatap Amel yang menghilang dalam hujan. Air mata membasahi
pipinya, seiring dengan tangisan awan yang semakin deras.
Tiiin… Tiiin…
Bunyi klakson mobil
membuyarkan lamunannya lagi. Itu pasti mobil Echa. Dengan segera ia
menghapus air mata yang menetes di pipinya, berkaca sekali lagi, dan
mengambil bingkisan biru yang tergeletak di sampingnya.
Hujan mulai reda
ketika mobil Echa meluncur ke jalanan. Mereka sibuk dengan pikiran
masing-masing. Echa fokus menyetir mobil, dan Diza menatap keluar
jendela, memikirkan apa yang akan terjadi nanti di rumah Amel.
“Itu apa?” tanya
Echa memecah kesunyian dalam mobil. Namun Diza tak menjawab,
sepertinya ia masih sibuk dengan pikirannya.
“Za!” tegur
Echa, membuat Diza tersentak.
“Hah?” jawab
Diza kaget.
“Yee… kok malah
bengong,” ucap Echa sewot. “Yang kamu bawa itu apa?”
“Oh, ini. Ini kado
buat Amel. Sebuah cangkir putih yang terlukis foto dia dan foto kita
bertiga,” ucapan Diza terdengar menggantung, “Dulu…”
Echa tak menjawab.
Ia tahu, bagi Diza persahabatan adalah segala-galanya. Tidak ada yang
lebih berharga daripada sahabat. Itu yang membuat Diza begitu
pengertian, dan rela melakukan apapun demi sahabatnya. Tapi entah
mengapa, kejadian kemarin, sepertinya membutakan mata Amel, membuat
kebaikan-kebaikan Diza padanya, menghilang begitu saja, dan berganti
dengan kebencian.
“Kita udah
sampai,” ucap Echa sambil mematikan mesin mobil. “Siap?”
Diza menatap Echa,
ia menggelengkan kepala. “Kamu aja yang masuk. Aku tunggu di
mobil,” ujarnya datar.
“Eh, nggak bisa
gitu dong,” protes Echa. “Yang punya masalah kan kamu, ya kamu
yang harus maju. Kalau aku sih, cuma ikut-ikutan aja. Hehehe…”
Echa terkekeh.
“Dasar! Tapi kamu
ikut masuk ya, aku nggak sanggup ngejelasin ke Amel sendirian,”
pinta Diza.
“Siiip…” Echa
mengacungkan jempolnya.
Mereka turun dari
mobil, menatap rumah dihadapan mereka. Dengan yakin, mereka melangkah
memasuki pekarangan rumah, tampak dari kejauhan sosok Amel yang
sedang duduk bercanda dengan Rio di ruang tamu.
Namun sepertinya
canda itu terhenti, ketika Amel melihat Diza dan Echa di depan
rumahnya. Rasa amarah memenuhi hatinya, keinginan untuk menampar Diza
lagi sempat terlintas dipikirannya. Dengan nada marah, ia membentak
Diza, yang baru saja selangkah memasuki pintu rumah, “Ngapain kamu
kesini! Masih berani ternyata!”
Diza hanya
menundukkan kepala, tak berani menatap sahabatnya. Ia tahu, bahwa
Amel akan memarahinya, memakinya, bahkan mungkin mengusirnya, sebelum
ia sempat berkata sepatah kata pun kebenaran.
“Dia mau
ngejelasin semuanya, Mel,” ujar Echa.
“Ngejelasin apa?
Nggak ada yang perlu dijelasin. Semuanya udah jelas, bahwa dia mau
ngerebut si Rio. Dasar, cewek gatel!” maki Amel habis-habisan.
“Kasih dia
kesempatan ngomong dong, Mel,” pinta Echa, membela.
“Oh, jadi sekarang
kamu ngebela dia. Cih, nggak level banget!”
“Aku nggak ngebela
dia. Aku hanya ingin masalah ini selesai. Aku nggak mau persahabatan
kita hancur cuma karena masalah kayak gini.”
“Persahabatan kita
emang udah hancur, gara-gara cewek ini! Udahlah, ngapain sih kamu
bela dia, kurang kerjaan aja.” Amel tampak merendahkan.
“Cukup!” Diza
membuka suara. “Aku tahu, meskipun aku jelasin semuanya, itu bakal
sia-sia. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa nggak ada sedikit pun niat
buat ngerebut Rio dari kamu…”
“Bohong!” bantah
Amel.
“Semua kulakukan
demi kamu, Mel.” air mata Diza membasahi pipinya. Suasana mulai tak
menyenangkan. Hujan mulai turun, seperti ikut menemani kesedihan
Diza.
“Kamu bohong! Aku
nggak percaya sama kamu! Asal kamu tahu, aku udah anggap kamu sebagai
musuh. Jadi, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku nggak mau lihat
kamu lagi!” usir Amel.
“Mel, dengerin
Diza dulu,” pinta Echa.
“Pergi!!” bentak
Amel dengan nada yang semakin meninggi.
“Mel, maafin aku,”
ucap Diza mengiba, menyerahkan bingkisan biru yang dipegangnya dari
tadi, “Aku mau, kamu terima ini.”
“Aku nggak butuh
hadiah dari kamu.” tangan Amel merampas kado itu, dan melemparnya
ke dinding. Terdengar suara pecah, bersamaan dengan kilat yang
menggelegar.
Diza diam membeku.
Menatap bingkisan biru yang kini berisikan pecahan-pecahan gelas. Ia
tak menyangka, Amel tega melakukan hal itu. Menerima kadonya saja
Amel tak mau, apalagi memaafkan dirinya. Seketika itu juga, tangisnya
pecah. Ia sudah berputus asa. Tak ada lagi harapan untuk
menyelamatkan persahabatan mereka. Persahabatan mereka hancur, karena
dirinya.
Diza menangis, pergi
meninggalkan Echa dan Amel. Ia berlari keluar rumah, menembus hujan
deras yang membasahi seluruh tubuhnya.
“Diza,” panggil
Echa. Ia mulai panik, takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Ia
berniat menyusul, namun Amel mencegahnya.
“Ngapain dikejar,
cewek kayak gitu nggak usah dibela. Biarin aja dia,” kata-kata Amel
terdengar sinis.
Echa menepis tangan
Amel, rasa marah menyelimutinya. “Aku kecewa sama kamu. Dia udah
berbuat baik sama kamu, tapi kamu malah ngelakuin itu ke dia. Justru
kamu yang harusnya minta maaf.” suara Echa meninggi. Amel hanya
diam, tak menanggapi perkataan Echa. “Udahlah, benar kata Diza.
Kamu memang nggak bakalan mengerti dengan semuanya,”
Ia segera mengambil
bingkisan biru itu, dan pergi meninggalkan Amel. Mungkin itu adalah
pertemuan terakhir mereka. Tapi Echa tak peduli, ia hanya memikirkan
tentang Diza. Ia tahu, pikiran Diza sedang kacau. Berada disampingnya
dan menyemangatinya adalah sesuatu yang harus Echa lakukan saat ini.
Setengah berlari mengejar Diza dalam hujan, ia menyadari satu hal.
Persahabatan yang
hancur, seperti gelas yang pecah. Walaupun kau coba untuk
memperbaikinya, tapi bekas pecahan itu masih akan membekas, dan
takkan hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar