CEWEK
BERUNTUNG
“Dasar gila!”
maki Diza sambil melempar tasnya ke atas meja kantin. Sontak saja
semua siswa melihat ke arahnya.
“Aduh. Lo kenapa
sih, Za? Pagi-pagi udah error
kayak
gini. Kena marah Pak Suki lagi?” tanya Lala setelah kagetnya reda.
Ia hampir tersedak jus tomat yang baru dibelinya saat Diza tiba-tiba
melempar tas ke atas mejanya.
“Bukan… Ini
lebih parah dari Pak Suki,” ujar Diza, mengambil duduk di depan
Lala.
“Hah? Masak ada
orang yang lebih parah dari guru killer
itu? Siapa sih ?”
“Nggak tau,”
jawab Diza datar. Ia merebut jus tomat yang hampir diminum Lala.
“Gimana sih! Kesel
kok nggak tau orangnya.”
“Ih, biarin aja.
Males banget gue kenalan!” ujar Diza sewot. “Eh, PRnya Pak Suki
udah lo kerjain?”
“Udah dong,”
jawab Lala bangga. Direbutnya jus tomat yang tak sempat terminum
tadi.
“Huu… sombong
banget lo,” Diza mencubit lengan Lala. “Tapi biarin deh, yang
penting gue bisa nyontek,” Diza terkekeh. Ia merebut jus tomat dari
tangan Lala.
“Dasar! Nggak
pernah berubah lo, ya.”
“Power Ranger
kale berubah,” canda Diza. Membuat mereka berdua tertawa lepas,
yang kembali ditatap syirik oleh penghuni kantin lainnya.
“Udah, ah. Gue mau
nyontek matematika dulu.” Diza berdiri dari kursinya.
“Ambil aja sendiri
di tas gue,” ujar Lala sambil hendak meminum jusnya, tapi… “Aah…
Diza… Jus tomat gue…!” teriak Lala sia-sia. Diza sudah tancap
gas sambil tertawa kemenangan.
Kelas Diza sedang
heboh dengan gosip-gosip. Bukan gosip para artis atau teman mereka,
tapi tentang murid baru yang akan ditempatkan di kelas mereka. Semua
murid sibuk menggosip, padahal bel masuk baru saja berbunyi.
“Pagi, anak-anak.”
Suara Pak Suki menggema, seketika membuat mulut anak didiknya
terkunci rapat. Di belakangnya, seorang cowok mengekor sambil
berjalan dengan mantap dan memberikan senyum yang dijamin memikat
hati semua cewek di kelas itu, kecuali Diza.
“La, itu La. Itu…”
Diza terbata-bata, menunjuk cowok yang berdiri bersama Pak Suki.
“Itu anak baru,
Za,” Lala menimpali datar.
“Yee… gue juga
udah tau kalo itu!” ujar Diza sambil menjitak kepala Lala.
“Aduh!” Lala
kesakitan. Semua murid menoleh ke arah Diza dan Lala, termasuk dua
manusia di depan kelas.
“Diza!” bentak
Pak Suki lantang. “Kalau kamu mau bicara, bicara di depan!”
“Eh, nggak Pak.
Maaf,” Diza berkata sambil menunduk menahan malu.
“Apa ada lagi yang
mau bicara?” tanya Pak Suki dengan nada tak ramah. Tak ada jawaban,
sunyi senyap. “Kalau begitu, saya harap semua memperhatikan!”
“Iya, Pak!”
jawab anak-anak serempak.
“Hari ini kita
kedatangan murid baru,” Pak Suki memulai pembicaraan. “Silahkan
perkenalkan diri.”
“Terima kasih,
Pak,” ujarnya pada Pak Suki, lalu menatap ke yang lainnya. “Pagi
semua. Kenalin, aku Micky Reyhan Dirsanto. Biasa dipanggil Micky. Aku
pindah ke sini ikut sama papa yang pindah dinas. Ini adalah sekolahku
yang ketiga selama satu tahun terakhir, dan semoga saja aku tetep
bisa bersekolah di sini sampai kita lulus nanti,” ujarnya panjang
lebar dan bla bla bla…
Seluruh kelas
mendengarkan dengan seksama, kecuali Diza. Ia hanya pasang muka
jutek, dan menatap sinis cowok yang lagi promosiin dirinya sendiri.
Ih, sok cool
banget sih, lo. Nggak banget tau!. Udah mau bikin gue celaka, sok
keren lagi! Diza membatin berapi-api.
“Ada yang mau
bertanya?” Pak Suki membuka sesi pertanyaan. Langsung saja murid
cewek mengangkat tangan, kecuali Diza tentunya.
“Udah punya cewek
belum?” tanya Reina, cewek sok cantik di kelas, tanpa ragu-ragu.
“Belum,” Micky
langsung menjawab. Mendengar jawaban itu, kelas jadi riuh. Wajah
cewek-cewek di kelas berbinar penuh harapan, berharap merekalah yang
menjadi cewek beruntung untuk menjadi kekasih Micky.
Begitulah
seterusnya. Banyak murid perempuan bahkan hanya kaum hawa saja yang
bertanya. Mulai dari hobi, alamat, hingga nomor telepon yang
senantiasa dijawab Micky dengan senang. Tapi Diza sama sekali tak
menghiraukan.
“La,” bisik
Diza. Ia tak mau kena marah Pak Suki lagi.
“Apa sih! Gue mau
tanya nih.” Lala mengangkat tangannya.
“Ih, dengerin gue
dulu!” ujar Diza sambil menarik tangan Lala turun, “Dia cowok
yang gue ceritain di kantin tadi. Itu anak mau nabrak gue di jalan!”
“Hah!” teriak
Lala lantang, membuat seisi kelas kembali terdiam.
“Diza! Kamu dari
tadi bicara terus!” Pak Suki marah-marah. “Sebagai hukumannya,
kamu harus mengajak Micky berkeliling sekolah. Biar dia betah di
sini!”
“Tapi, Pak…”
“Tidak ada tapi!
Nanti pulang sekolah, kamu mulai bertugas!” perintah Pak Suki
sinis. Ditatapnya murid cuek ini tajam, yang ditatap hanya meundukkan
kepala, menahan jengkel pada orang yang menatapnya.
Hari ini hari yang
menyebalkan bagi Diza. Pagi-pagi udah mau ditabrak mobil, dihukum Pak
Suki lagi. Hanya gara-gara cowok sok keren di kelasnya. Pelajaran
dari awal hingga akhir nggak ada satu pun yang masuk ke otaknya.
Ngedengerin aja nggak.
“Kamu nggak
nganterin aku keliling sekolah?” tanya Micky memberanikan diri.
Saat itu kelas sudah sepi, jam pulang selesai beberapa menit lalu.
“Ngapain? Kurang
kerjaan banget gue!” ujar Diza cuek.
“Tapi kamu kan
udah janji sama Pak Suki.”
“Eh, denger ya!
Gue nggak pernah setuju sama tugas yang dikasih sama Pak Suki. Kalo
lo mau keliling, keliling aja sendiri. Atau ajak temen yang lain,
selain gue. Toh mereka juga nggak bakal keberatan!” ujar Diza sewot
sambil menatap Micky tajam.
“Tapi aku maunya
sama kamu!”
“Gue nggak mau
sama lo. Males gue, jalan sama cowok yang nggak becus nyetir mobil!”
Diza ketus.
“Maksud kamu?”
tanya Micky tak mengerti.
“Nggak usah
berlagak nggak tau deh! Gue tuh cewek yang hampir lo tabrak tadi
pagi!” bentak Diza marah.
“Oh, jadi itu
kamu. Maaf deh kalo gitu. Hehehe…” Micky nyengir kuda. Tangannya
membentuk angka dua. “Peace!”
“Maaf, maaf!
Tanggung jawab, dong!”
“Lho, tapi kamu
kan nggak apa-apa.”
“Tapi gue hampir
celaka tau! Makanya pake mata dong!”
“Eh, kok jadi
nyalahin aku? Justru kamu yang jalan nggak liat-liat.”
“Ih, lo tuh, ya.
Nyebelin banget jadi anak!” ujar Diza ketus. “Minggir! Gue mau
pulang. Males gue lama-lama ngomong sama lo!” Diza beranjak dari
kursinya. Berjalan melewati Micky tanpa menoleh sedikitpun.
“Tunggu!” cegah
Micky. Tangannya menarik tangan Diza mendekat. “Aku mau kamu maafin
aku!”
Mata Micky menatap
tajam Diza, menandakan sebuah kesungguhan. Tatapan yang belum pernah
dilihat Diza sebelumnya. Tatapan yang membuat hatinya, tak karuan.
“Ih, apaah sih,
lo! Lepasin! Sakit tau!” Diza merintih kesakitan.
“Nggak akan
kulepasin sebelum kamu maafin aku.”
Sekarang Diza yang
menatap Micky tajam. Kalo dilihat dengan mata super, bakal kelihatan
api membara di mata Diza. Marah, jengkel, akan sesosok mahluk di
depannya. “Lepasin!”
“Nggak!” Micky
teguh dengan pendiriannya.
Tiba-tiba suasana
menjadi menegangkan. Seolah-olah, keluar sinar laser dari kedua mata
mereka, beradu tajam. Suasana yang hanya ada mereka berdua di dalam
kelas, berhadapan dengan jarak yang cukup dekat, sambil Micky yang
tetap memegang tangan Diza.
Hhh… Sepertinya
harus gue maafin, nih. Nggak bakal bisa pulang kalo gini ceritanya.
Diza membatin kesal.
Beberapa minggu
kemudian Micky dan Diza terlihat dekat. Di kelas, kantin atau
perpustakaan selalu berdua. Seluruh penghuni kelas terheran-heran
melihatnya. Masalahnya, saat pertama bertemu, Micky dan Diza tak
pernah akur. Mereka saling mengejek. Sedangkan sekarang seperti
kekasih.
“Lo jadian ya sama
Micky?” tanya Lala penasaran. Sebenarnya dia nggak mau ikut campur
urusan Diza, tapi dia mengemban amanat dari siswa dikelasnya,
menanyakan hubungan antara Diza dan Micky.
“Gue jadian sama
Micky? Nggak tuh. Lagian kita cuma temenan doang,” ujar Diza
tersenyum, tanpa menatap Lala.
“Kok kalian deket
banget? Padahal dulu kan nggak pernah akur.”
Diza tertawa,
menatap polos mata sahabatnya. “Lala, Micky tuh ternyata temen SMP
gue, tapi cuma sampai kelas dua aja, soalnya dia pindah sekolah ikut
bokapnya. Kalo sekarang sih, kita cuma jadi temen curhat. Lagipula,
dia sering cerita kalo dia lagi suka sama cewek di kelas kita,”
jelas Diza panjang lebar.
“Siapa?”
Diza mengangkat
bahu. Lala mengerutkan keningnya, tampaknya sedang berpikir.
Menerka-nerka cewek beruntung di kelasnya yang disukai Micky.
Sementara Lala
berpikir, Diza malah melamun. Mengingat pertemuannya dengan Micky
yang ngeselin abis. Lucu juga kalo dipikir-pikir. Sejak kejadian
‘berdua’ di kelas, ia semakin akrab dengan Micky. Mereka jadi
sering bersama, ngobrol, bahkan jalan bareng. Diza baru sadar,
dibalik sifat nyebelin Micky, ternyata begitu menyenangkan, baik dan
begitu perhatian. Membuat hari-hari Diza begitu penuh warna dan
senyuman.
“Hayo… ngapain
senyum-senyum? Mikirin aku ya?” suara Micky membuyarkan lamunan
Diza. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja ia muncul di hadapan
Diza.
“Ih… GR banget
sih, lo!” ujar Diza sewot. Lamunan indahnya jadi bersambung.
“Hahaha…sekali-kali
nggak apa-apa dong. Lagian kamu emang mikirin aku, kan?” ujar Micky
bangga diikuti dengan cibiran Diza, membuat Micky semakin tertawa.
“Eh, La. Nanti
pulang sekolah ada acara nggak?” tanya Micky setelah tawanya reda.
Lala menggeleng.
“Nanti pulang
sekolah temenin aku, yuk,” ajak Micky. “Jangan ajak siapa-siapa
tapi.”
“Kemana?”
“Ada deh. Kamu
ikut aja pokoknya. Ingat, hanya kita berdua, oke?” Micky
mengedipkan sebelah matanya. Tanpa menunggu jawaban, Micky berlalu
meninggalkan mereka berdua. Tawa misteri menyeringai dari mulutnya.
Gosip itu seperti
angin yang nggak tentu arahnya. Habis ke utara bisa langsung balik ke
selatan. Itu yang sedang dialami Micky. Setelah digosipkan jadian
sama Diza, sekarang gosip itu berbalik ke Lala. Seluruh penghuni
kelas kembali heran. Apalagi Diza, lebih heran lagi.
“Lo jadian ya sama
Micky?” tanya Diza saat jam pelajaran berakhir.
“Nggak, tuh. Gue
sama Micky cuma temenan doang,” ujar Lala santai.
“Tapi kalian kok
sering jalan?”
“Iseng aja.
Kenapa? Lo cemburu ya?” goda Lala.
Wajah Diza memerah,
tapi dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. “Ih. Apaan sih, lo. Basi
banget.” Diza mencubit lengan Lala.
“Aduh!” Lala
kesakitan.
Mereka pun tertawa
bersama-sama. Tapi bagi Diza, tawanya tak selepas biasanya. Ada
sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“La, cabut yuk!”
ajakan Micky menghentikan tawa Diza.
“Oh, iya. Za, gue
cabut dulu ya,” Lala pamit. Mereka berdua pun pergi meninggalkan
Diza sendirian di kelas.
Diza menatap sakit
kepergian mereka. Apalagi Micky yang tak pamit padanya. Gue emang
cemburu, La. Gue sayang sama dia. Ternyata, cewek yang dia suka di
kelas itu lo. Beruntung banget lo, La. Bisa dapet cowok pengertian
kayak Micky. Diza membatin sedih. Ia menggigit bibir. Air matanya
perlahan menetes, membasahi pipi lembutnya.
Semakin berjalannya
waktu, hubungan Micky dan Lala semakin mesra. Tapi semakin bertambah
pula sakit yang dirasakan Diza. Teman sekelas mereka pun nggak tau
harus berbuat apa lagi. Setiap mereka bertanya pada Lala tentang
kedekatannya dengan Micky, selalu dijawab ”Gue cuma temenan, kok”.
Begitu juga dengan Diza saat ditanya kenapa dia sering diam, selalu
dijawabnya, ”Gue nggak apa-apa”. Teman-temannya pun nyerah, biar
waktu saja yang menjawab pertanyaan mereka.
“Za, ntar lo
pulang sekolah ada acara?” tanya Lala saat mereka di kantin.
“Nggak,” Diza
menjawab datar.
“Lo kenapa sih?
Jutek banget. Daripada lo nggak jelas kayak gini, ikut gue yuk. Kita
makan di food
court.
Tenang, gue yang traktir.”
“Terserah,”
“Kalo gitu, ntar
gue tunggu di gerbang. Oke?”
Diza mengangguk tak
bersemangat. Pikirannya melayang kemana-mana. Akhir-akhir ini
pikirannya sedang kacau. Bayangan Micky selalu memenuhi pikirannya,
hanya menambah luka.
“Aku sayang banget
sama kamu. Dari pertama kita ketemu dulu, aku udah suka sama kamu.
Jadi sekarang…” Micky tak meneruskan kata-katanya. Membuat cewek
di depannya semakin deg-degan. “Jadi sekarang… Kamu mau nggak
jadi pacarku?”
Si cewek diam
membisu, nggak tau harus menjawab apa. Apalagi saat Micky menggenggam
kedua tangannya, perasaannya semakin kacau. Ia sangat menyayangi
cowok di depannya, begitu juga sahabatnya.
“Terima aja deh,
Za. Lo kan juga suka sama dia.” Lala ikut-ikutan. Membuat cewek
yang ditembak Micky, salah tingkah.
“Tapi bukannya
kalian pacaran?” Diza berkata pelan.
“Diza. Jelas-jelas
Micky nembak lo, bukan gue. Jadi mana mungkin kita jadian. Lagipula,
kita sering jalan tuh soalnya Micky konsultasi ke gue tentang lo,”
Lala menjelaskan panjang lebar.
Diza tetap nggak
menjawab apa-apa. Micky memberi isyarat pada Lala agar memberi mereka
waktu untuk berduaan.
“Terserah, deh.
Gue mau shopping
aja. Met berduaan.”
Setelah Lala pergi,
mereka malah sibuk dengan pikiran masing-masing. Diza sedang berkelut
dengan pikirannya, haruskah ia menerima Micky. Sedangkan Micky
berharap diterima oleh cewek yang disukainya sejak SMP itu, sambil
tetap menggenggam tangan calon pacarnya.
“Gimana? Kamu mau
kan?” tanya Micky sekali lagi, setelah berdiam cukup lama.
“Sebenarnya…”
Diza buka suara. “Gue…” Diza tak meneruskan kalimatnya. Membuat
Micky sekarang deg-degan.
“Apa, Za? Kamu
nggak mau, ya?” ujar Micky lemas.
“Sebenarnya gue…
juga sayang banget sama lo.”
Mendengar itu, Micky
langsung menatap mata Diza. Memastikan adakah kebohongan dari
jawabannya. Tapi sinar matanya begitu tulus, membuat Micky sadar,
betapa ia begitu menyayangi cewek yang telah resmi menjadi pacarnya
itu.
“Makasih, Za. Aku
sayang kamu…” ujar Micky lembut. Tatapan matanya begitu teduh,
membuat siapapun yang menatapnya juga ikut merasakan, cinta.
“Love you too…”
ujar Diza riang. Senyumnya mengembang. Hilang sudah semua luka
dihatinya. Tergantikan dengan cinta dari seseorang yang sangat
disayanginya, yang juga sangat menyayanginya.
“Pulang, yuk!”
ajak Micky.
Diza mengagguk.
Mereka beranjak meninggalkan food
court,
berjalan bergandengan tangan menuju tempat parkir.
Saat dimobil, Diza
tak henti-hentinya tersenyum riang. Mengingat betapa lucunya
kejadian-kejadian lalu. Bertengkar dengan Micky, jelous
dengan Lala, hingga merasakan manisnya cinta. Hahaha… Lucu juga.
Ternyata, cewek beruntung yang jadi pacarnya Micky itu gue. Seneng
banget rasanya. Kayaknya, gue harus berterima kasih banget nih sama
Lala. Diza membatin senang. Hingga ia menyadari sesuatu yang
terlupakan…
“Astaga, Micky.
Lala mana? Dia kan masih di mall
tadi!”
DESY DIASTUTIK
SMA NEGERI 1
PANDAAN
Jl. SIDOMUKTI No.
28 RT. 03 RW 05 PANDAAN, PASURUAN, 67156
0343 634720 -
081357832542