Senin, 18 Juni 2012

CERPEN - Cewek Beruntung


CEWEK BERUNTUNG

Dasar gila!” maki Diza sambil melempar tasnya ke atas meja kantin. Sontak saja semua siswa melihat ke arahnya.
Aduh. Lo kenapa sih, Za? Pagi-pagi udah error kayak gini. Kena marah Pak Suki lagi?” tanya Lala setelah kagetnya reda. Ia hampir tersedak jus tomat yang baru dibelinya saat Diza tiba-tiba melempar tas ke atas mejanya.
Bukan… Ini lebih parah dari Pak Suki,” ujar Diza, mengambil duduk di depan Lala.
Hah? Masak ada orang yang lebih parah dari guru killer itu? Siapa sih ?”
Nggak tau,” jawab Diza datar. Ia merebut jus tomat yang hampir diminum Lala.
Gimana sih! Kesel kok nggak tau orangnya.”
Ih, biarin aja. Males banget gue kenalan!” ujar Diza sewot. “Eh, PRnya Pak Suki udah lo kerjain?”
Udah dong,” jawab Lala bangga. Direbutnya jus tomat yang tak sempat terminum tadi.
Huu… sombong banget lo,” Diza mencubit lengan Lala. “Tapi biarin deh, yang penting gue bisa nyontek,” Diza terkekeh. Ia merebut jus tomat dari tangan Lala.
Dasar! Nggak pernah berubah lo, ya.”
Power Ranger kale berubah,” canda Diza. Membuat mereka berdua tertawa lepas, yang kembali ditatap syirik oleh penghuni kantin lainnya.
Udah, ah. Gue mau nyontek matematika dulu.” Diza berdiri dari kursinya.
Ambil aja sendiri di tas gue,” ujar Lala sambil hendak meminum jusnya, tapi… “Aah… Diza… Jus tomat gue…!” teriak Lala sia-sia. Diza sudah tancap gas sambil tertawa kemenangan.
  
Kelas Diza sedang heboh dengan gosip-gosip. Bukan gosip para artis atau teman mereka, tapi tentang murid baru yang akan ditempatkan di kelas mereka. Semua murid sibuk menggosip, padahal bel masuk baru saja berbunyi.
Pagi, anak-anak.” Suara Pak Suki menggema, seketika membuat mulut anak didiknya terkunci rapat. Di belakangnya, seorang cowok mengekor sambil berjalan dengan mantap dan memberikan senyum yang dijamin memikat hati semua cewek di kelas itu, kecuali Diza.
La, itu La. Itu…” Diza terbata-bata, menunjuk cowok yang berdiri bersama Pak Suki.
Itu anak baru, Za,” Lala menimpali datar.
Yee… gue juga udah tau kalo itu!” ujar Diza sambil menjitak kepala Lala.
Aduh!” Lala kesakitan. Semua murid menoleh ke arah Diza dan Lala, termasuk dua manusia di depan kelas.
Diza!” bentak Pak Suki lantang. “Kalau kamu mau bicara, bicara di depan!”
Eh, nggak Pak. Maaf,” Diza berkata sambil menunduk menahan malu.
Apa ada lagi yang mau bicara?” tanya Pak Suki dengan nada tak ramah. Tak ada jawaban, sunyi senyap. “Kalau begitu, saya harap semua memperhatikan!”
Iya, Pak!” jawab anak-anak serempak.
Hari ini kita kedatangan murid baru,” Pak Suki memulai pembicaraan. “Silahkan perkenalkan diri.”
Terima kasih, Pak,” ujarnya pada Pak Suki, lalu menatap ke yang lainnya. “Pagi semua. Kenalin, aku Micky Reyhan Dirsanto. Biasa dipanggil Micky. Aku pindah ke sini ikut sama papa yang pindah dinas. Ini adalah sekolahku yang ketiga selama satu tahun terakhir, dan semoga saja aku tetep bisa bersekolah di sini sampai kita lulus nanti,” ujarnya panjang lebar dan bla bla bla…
Seluruh kelas mendengarkan dengan seksama, kecuali Diza. Ia hanya pasang muka jutek, dan menatap sinis cowok yang lagi promosiin dirinya sendiri. Ih, sok cool banget sih, lo. Nggak banget tau!. Udah mau bikin gue celaka, sok keren lagi! Diza membatin berapi-api.
Ada yang mau bertanya?” Pak Suki membuka sesi pertanyaan. Langsung saja murid cewek mengangkat tangan, kecuali Diza tentunya.
Udah punya cewek belum?” tanya Reina, cewek sok cantik di kelas, tanpa ragu-ragu.
Belum,” Micky langsung menjawab. Mendengar jawaban itu, kelas jadi riuh. Wajah cewek-cewek di kelas berbinar penuh harapan, berharap merekalah yang menjadi cewek beruntung untuk menjadi kekasih Micky.
Begitulah seterusnya. Banyak murid perempuan bahkan hanya kaum hawa saja yang bertanya. Mulai dari hobi, alamat, hingga nomor telepon yang senantiasa dijawab Micky dengan senang. Tapi Diza sama sekali tak menghiraukan.
La,” bisik Diza. Ia tak mau kena marah Pak Suki lagi.
Apa sih! Gue mau tanya nih.” Lala mengangkat tangannya.
Ih, dengerin gue dulu!” ujar Diza sambil menarik tangan Lala turun, “Dia cowok yang gue ceritain di kantin tadi. Itu anak mau nabrak gue di jalan!”
Hah!” teriak Lala lantang, membuat seisi kelas kembali terdiam.
Diza! Kamu dari tadi bicara terus!” Pak Suki marah-marah. “Sebagai hukumannya, kamu harus mengajak Micky berkeliling sekolah. Biar dia betah di sini!”
Tapi, Pak…”
Tidak ada tapi! Nanti pulang sekolah, kamu mulai bertugas!” perintah Pak Suki sinis. Ditatapnya murid cuek ini tajam, yang ditatap hanya meundukkan kepala, menahan jengkel pada orang yang menatapnya.
  
Hari ini hari yang menyebalkan bagi Diza. Pagi-pagi udah mau ditabrak mobil, dihukum Pak Suki lagi. Hanya gara-gara cowok sok keren di kelasnya. Pelajaran dari awal hingga akhir nggak ada satu pun yang masuk ke otaknya. Ngedengerin aja nggak.
Kamu nggak nganterin aku keliling sekolah?” tanya Micky memberanikan diri. Saat itu kelas sudah sepi, jam pulang selesai beberapa menit lalu.
Ngapain? Kurang kerjaan banget gue!” ujar Diza cuek.
Tapi kamu kan udah janji sama Pak Suki.”
Eh, denger ya! Gue nggak pernah setuju sama tugas yang dikasih sama Pak Suki. Kalo lo mau keliling, keliling aja sendiri. Atau ajak temen yang lain, selain gue. Toh mereka juga nggak bakal keberatan!” ujar Diza sewot sambil menatap Micky tajam.
Tapi aku maunya sama kamu!”
Gue nggak mau sama lo. Males gue, jalan sama cowok yang nggak becus nyetir mobil!” Diza ketus.
Maksud kamu?” tanya Micky tak mengerti.
Nggak usah berlagak nggak tau deh! Gue tuh cewek yang hampir lo tabrak tadi pagi!” bentak Diza marah.
Oh, jadi itu kamu. Maaf deh kalo gitu. Hehehe…” Micky nyengir kuda. Tangannya membentuk angka dua. “Peace!”
Maaf, maaf! Tanggung jawab, dong!”
Lho, tapi kamu kan nggak apa-apa.”
Tapi gue hampir celaka tau! Makanya pake mata dong!”
Eh, kok jadi nyalahin aku? Justru kamu yang jalan nggak liat-liat.”
Ih, lo tuh, ya. Nyebelin banget jadi anak!” ujar Diza ketus. “Minggir! Gue mau pulang. Males gue lama-lama ngomong sama lo!” Diza beranjak dari kursinya. Berjalan melewati Micky tanpa menoleh sedikitpun.
Tunggu!” cegah Micky. Tangannya menarik tangan Diza mendekat. “Aku mau kamu maafin aku!”
Mata Micky menatap tajam Diza, menandakan sebuah kesungguhan. Tatapan yang belum pernah dilihat Diza sebelumnya. Tatapan yang membuat hatinya, tak karuan.
Ih, apaah sih, lo! Lepasin! Sakit tau!” Diza merintih kesakitan.
Nggak akan kulepasin sebelum kamu maafin aku.”
Sekarang Diza yang menatap Micky tajam. Kalo dilihat dengan mata super, bakal kelihatan api membara di mata Diza. Marah, jengkel, akan sesosok mahluk di depannya. “Lepasin!”
Nggak!” Micky teguh dengan pendiriannya.
Tiba-tiba suasana menjadi menegangkan. Seolah-olah, keluar sinar laser dari kedua mata mereka, beradu tajam. Suasana yang hanya ada mereka berdua di dalam kelas, berhadapan dengan jarak yang cukup dekat, sambil Micky yang tetap memegang tangan Diza.
Hhh… Sepertinya harus gue maafin, nih. Nggak bakal bisa pulang kalo gini ceritanya. Diza membatin kesal.
  
Beberapa minggu kemudian Micky dan Diza terlihat dekat. Di kelas, kantin atau perpustakaan selalu berdua. Seluruh penghuni kelas terheran-heran melihatnya. Masalahnya, saat pertama bertemu, Micky dan Diza tak pernah akur. Mereka saling mengejek. Sedangkan sekarang seperti kekasih.
Lo jadian ya sama Micky?” tanya Lala penasaran. Sebenarnya dia nggak mau ikut campur urusan Diza, tapi dia mengemban amanat dari siswa dikelasnya, menanyakan hubungan antara Diza dan Micky.
Gue jadian sama Micky? Nggak tuh. Lagian kita cuma temenan doang,” ujar Diza tersenyum, tanpa menatap Lala.
Kok kalian deket banget? Padahal dulu kan nggak pernah akur.”
Diza tertawa, menatap polos mata sahabatnya. “Lala, Micky tuh ternyata temen SMP gue, tapi cuma sampai kelas dua aja, soalnya dia pindah sekolah ikut bokapnya. Kalo sekarang sih, kita cuma jadi temen curhat. Lagipula, dia sering cerita kalo dia lagi suka sama cewek di kelas kita,” jelas Diza panjang lebar.
Siapa?”
Diza mengangkat bahu. Lala mengerutkan keningnya, tampaknya sedang berpikir. Menerka-nerka cewek beruntung di kelasnya yang disukai Micky.
Sementara Lala berpikir, Diza malah melamun. Mengingat pertemuannya dengan Micky yang ngeselin abis. Lucu juga kalo dipikir-pikir. Sejak kejadian ‘berdua’ di kelas, ia semakin akrab dengan Micky. Mereka jadi sering bersama, ngobrol, bahkan jalan bareng. Diza baru sadar, dibalik sifat nyebelin Micky, ternyata begitu menyenangkan, baik dan begitu perhatian. Membuat hari-hari Diza begitu penuh warna dan senyuman.
Hayo… ngapain senyum-senyum? Mikirin aku ya?” suara Micky membuyarkan lamunan Diza. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja ia muncul di hadapan Diza.
Ih… GR banget sih, lo!” ujar Diza sewot. Lamunan indahnya jadi bersambung.
Hahaha…sekali-kali nggak apa-apa dong. Lagian kamu emang mikirin aku, kan?” ujar Micky bangga diikuti dengan cibiran Diza, membuat Micky semakin tertawa.
Eh, La. Nanti pulang sekolah ada acara nggak?” tanya Micky setelah tawanya reda.
Lala menggeleng.
Nanti pulang sekolah temenin aku, yuk,” ajak Micky. “Jangan ajak siapa-siapa tapi.”
Kemana?”
Ada deh. Kamu ikut aja pokoknya. Ingat, hanya kita berdua, oke?” Micky mengedipkan sebelah matanya. Tanpa menunggu jawaban, Micky berlalu meninggalkan mereka berdua. Tawa misteri menyeringai dari mulutnya.
  
Gosip itu seperti angin yang nggak tentu arahnya. Habis ke utara bisa langsung balik ke selatan. Itu yang sedang dialami Micky. Setelah digosipkan jadian sama Diza, sekarang gosip itu berbalik ke Lala. Seluruh penghuni kelas kembali heran. Apalagi Diza, lebih heran lagi.
Lo jadian ya sama Micky?” tanya Diza saat jam pelajaran berakhir.
Nggak, tuh. Gue sama Micky cuma temenan doang,” ujar Lala santai.
Tapi kalian kok sering jalan?”
Iseng aja. Kenapa? Lo cemburu ya?” goda Lala.
Wajah Diza memerah, tapi dia terlalu gengsi untuk mengakuinya. “Ih. Apaan sih, lo. Basi banget.” Diza mencubit lengan Lala.
Aduh!” Lala kesakitan.
Mereka pun tertawa bersama-sama. Tapi bagi Diza, tawanya tak selepas biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
La, cabut yuk!” ajakan Micky menghentikan tawa Diza.
Oh, iya. Za, gue cabut dulu ya,” Lala pamit. Mereka berdua pun pergi meninggalkan Diza sendirian di kelas.
Diza menatap sakit kepergian mereka. Apalagi Micky yang tak pamit padanya. Gue emang cemburu, La. Gue sayang sama dia. Ternyata, cewek yang dia suka di kelas itu lo. Beruntung banget lo, La. Bisa dapet cowok pengertian kayak Micky. Diza membatin sedih. Ia menggigit bibir. Air matanya perlahan menetes, membasahi pipi lembutnya.
  
Semakin berjalannya waktu, hubungan Micky dan Lala semakin mesra. Tapi semakin bertambah pula sakit yang dirasakan Diza. Teman sekelas mereka pun nggak tau harus berbuat apa lagi. Setiap mereka bertanya pada Lala tentang kedekatannya dengan Micky, selalu dijawab ”Gue cuma temenan, kok”. Begitu juga dengan Diza saat ditanya kenapa dia sering diam, selalu dijawabnya, ”Gue nggak apa-apa”. Teman-temannya pun nyerah, biar waktu saja yang menjawab pertanyaan mereka.
Za, ntar lo pulang sekolah ada acara?” tanya Lala saat mereka di kantin.
Nggak,” Diza menjawab datar.
Lo kenapa sih? Jutek banget. Daripada lo nggak jelas kayak gini, ikut gue yuk. Kita makan di food court. Tenang, gue yang traktir.”
Terserah,”
Kalo gitu, ntar gue tunggu di gerbang. Oke?”
Diza mengangguk tak bersemangat. Pikirannya melayang kemana-mana. Akhir-akhir ini pikirannya sedang kacau. Bayangan Micky selalu memenuhi pikirannya, hanya menambah luka.
  
Aku sayang banget sama kamu. Dari pertama kita ketemu dulu, aku udah suka sama kamu. Jadi sekarang…” Micky tak meneruskan kata-katanya. Membuat cewek di depannya semakin deg-degan. “Jadi sekarang… Kamu mau nggak jadi pacarku?”
Si cewek diam membisu, nggak tau harus menjawab apa. Apalagi saat Micky menggenggam kedua tangannya, perasaannya semakin kacau. Ia sangat menyayangi cowok di depannya, begitu juga sahabatnya.
Terima aja deh, Za. Lo kan juga suka sama dia.” Lala ikut-ikutan. Membuat cewek yang ditembak Micky, salah tingkah.
Tapi bukannya kalian pacaran?” Diza berkata pelan.
Diza. Jelas-jelas Micky nembak lo, bukan gue. Jadi mana mungkin kita jadian. Lagipula, kita sering jalan tuh soalnya Micky konsultasi ke gue tentang lo,” Lala menjelaskan panjang lebar.
Diza tetap nggak menjawab apa-apa. Micky memberi isyarat pada Lala agar memberi mereka waktu untuk berduaan.
Terserah, deh. Gue mau shopping aja. Met berduaan.”
Setelah Lala pergi, mereka malah sibuk dengan pikiran masing-masing. Diza sedang berkelut dengan pikirannya, haruskah ia menerima Micky. Sedangkan Micky berharap diterima oleh cewek yang disukainya sejak SMP itu, sambil tetap menggenggam tangan calon pacarnya.
Gimana? Kamu mau kan?” tanya Micky sekali lagi, setelah berdiam cukup lama.
Sebenarnya…” Diza buka suara. “Gue…” Diza tak meneruskan kalimatnya. Membuat Micky sekarang deg-degan.
Apa, Za? Kamu nggak mau, ya?” ujar Micky lemas.
Sebenarnya gue… juga sayang banget sama lo.”
Mendengar itu, Micky langsung menatap mata Diza. Memastikan adakah kebohongan dari jawabannya. Tapi sinar matanya begitu tulus, membuat Micky sadar, betapa ia begitu menyayangi cewek yang telah resmi menjadi pacarnya itu.
Makasih, Za. Aku sayang kamu…” ujar Micky lembut. Tatapan matanya begitu teduh, membuat siapapun yang menatapnya juga ikut merasakan, cinta.
Love you too…” ujar Diza riang. Senyumnya mengembang. Hilang sudah semua luka dihatinya. Tergantikan dengan cinta dari seseorang yang sangat disayanginya, yang juga sangat menyayanginya.
Pulang, yuk!” ajak Micky.
Diza mengagguk. Mereka beranjak meninggalkan food court, berjalan bergandengan tangan menuju tempat parkir.
Saat dimobil, Diza tak henti-hentinya tersenyum riang. Mengingat betapa lucunya kejadian-kejadian lalu. Bertengkar dengan Micky, jelous dengan Lala, hingga merasakan manisnya cinta. Hahaha… Lucu juga. Ternyata, cewek beruntung yang jadi pacarnya Micky itu gue. Seneng banget rasanya. Kayaknya, gue harus berterima kasih banget nih sama Lala. Diza membatin senang. Hingga ia menyadari sesuatu yang terlupakan…
Astaga, Micky. Lala mana? Dia kan masih di mall tadi!”
  



DESY DIASTUTIK
SMA NEGERI 1 PANDAAN
Jl. SIDOMUKTI No. 28 RT. 03 RW 05 PANDAAN, PASURUAN, 67156
0343 634720 - 081357832542

CERPEN - Pertemuan Terakhir


PERTEMUAN TERAKHIR

Awan mendung menutupi kota, sedang musim hujan memang. Pagi ini pun hujan masih turun, walau tak sederas tadi malam.
Apakah kau juga ikut merasakan kepedihanku, awan. Keluh seorang remaja dibalik jendela kamarnya. Matanya sembab karena habis menangis semalaman Ia menerawang keluar jendela, menatap awan kelabu dengan air mata yang kembali menetes di pipinya, mengingat kejadian kemarin yang membuat hatinya terluka.
Suara dering handphone membuyarkan lamunannya. Dengan malas ia mengambil handphone yang tergeletak di atas meja. Tertera nama sahabatnya di layar.
Halo?” ucapnya lirih.
Halo, Diza? Ya ampun, Za. Kamu kemana aja? Aku khawatir sama kamu. Aku telepon berulang kali tapi mailbox terus, sms nggak masuk-masuk. Kenapa sih, Za? Cerita dong. sama aku, aku kan sahabat kamu, ” timpal suara diseberang telepon dengan tak sabarnya.
Aku nggak apa-apa, kok.” jawab Diza seadanya.
Nggak apa-apa, gimana! Aku kemarin telepon ke rumah kamu. Kata Tante kamu mengurung diri dikamar. Gila kamu, ya! Bikin aku sama Tante jadi was-was kayak gini,” ujar Echa emosi. Diza tak segera menjawab, berusaha menahan air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya.
Dengar ya, Diza.” emosi Echa menurun, “Aku tahu, kamu sedih banget dengan kejadian kemarin. Jujur, aku nggak nyangka Amel bakal ngelakuin hal kayak gitu ke kamu. Tapi mau gimana lagi, itu semua udah terjadi...”
Tapi sikapnya udah keterlaluan, Cha. Kamu nggak tau gimana terlukanya aku. Aku nangis semalaman gara-gara dia. Dia bukan Amel yang aku kenal dulu. Dia berubah, Cha…” potong Diza, tangisnya pecah.
Diza…” suara Echa terdengar iba.
Mungkin semuanya salahku. Aku yang merespon ajakan Rio, dan aku yang berjalan berduaan dengannya. Tapi itu kulakukan demi Amel, tanpa ada maksud untuk merebut Rio darinya. Kenapa dia nggak ngerti tentang hal itu?”
Itu bukan hal yang mudah untuk dimengerti, Diza. Persahabatan dan cinta butuh pengertian lebih. Di mata kamu persahabatan adalah segalanya, tapi di mata Amel justru cinta yang segalanya. Itulah alasan kenapa dia lebih memilih Rio daripada kita,” ujar Echa memberi penjelasan. “Sekarang, kamu ganti baju. Setengah jam lagi kujemput,” tambahnya.
Kita... mau kemana?” tanya Diza, tangisnya mereda.
Ke rumah Amel.”
Tapi…”
Za,” potong Echa. “Kita butuh kepastian. Aku nggak mau persahabatan kita gantung kayak gini. Daripada kamu nyesel terus-terusan.”
Aku belum siap, Cha,” keluh Diza, berharap Echa mengerti perasaannya.
Kalau kamu nurutin perasaan, sampai kapan pun kamu nggak bakal siap dengan semua ini. Lagipula, aku di sini bakal dukung kamu, Oke. Sekarang, siap-siap sana!”
Klik! Perintah Echa mengakhiri obrolan mereka. Diza terpaku sesaat, meresapi semua perkataan Echa. Memang, ada benarnya. Ia takkan benar-benar siap dengan semua ini, tapi untunglah ada Echa yang selalu mendukungnya. Ia bersyukur mempunyai sahabat seperti Echa.
Diza segera berganti pakaian dan menata diri di depan cermin, saat sebuah bingkisan biru menyita perhatiannya. Membuatnya teringat kembali akan kejadian kemarin.
Saat itu sedang turun hujan. Di depan sebuah toko, Diza dan Rio berteduh menghindari tangisan awan. Tiba-tiba saja sesosok remaja cewek datang menghampiri mereka dengan ekspresi marah.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Diza.
Heh! Kamu sahabat macam apa sih! Seenaknya aja ngerebut cowok orang! Rio itu milikku, ngapain kamu jalan berduaan dengan dia! Dasar, cewek gatel!” maki Amel.
Mel, kamu salah paham. Aku sama Rio nggak ada apa-apa,” bantah Diza sambil memegang pipinya.
Halah! Jelas-jelas aku lihat kalian jalan berdua. Kalau nggak ada apa-apa, ngapain Rio beliin kamu cincin itu!” ujar Amel sambil menunjuk sebuah cincin yang sedang dibawa Rio.
Ini buat kamu, Mel. Rio beliin ini buat kamu. Dia mau ngasih kejutan. Dia ngajak aku, karena ukuran jarimu hampir sama denganku. Cuma itu aja, nggak lebih, Mel,” ujar Diza menjelaskan semua.
Bohong! Aku nggak percaya sama kamu! Aku lebih percaya mataku yang melihat kalian berduaan! Kamu bukan sahabatku lagi, kamu penghianat!” Amel segera pergi, diikuti Rio yang hanya bisa menundukkan kepala. Diza masih terdiam, menatap Amel yang menghilang dalam hujan. Air mata membasahi pipinya, seiring dengan tangisan awan yang semakin deras.
Tiiin… Tiiin…
Bunyi klakson mobil membuyarkan lamunannya lagi. Itu pasti mobil Echa. Dengan segera ia menghapus air mata yang menetes di pipinya, berkaca sekali lagi, dan mengambil bingkisan biru yang tergeletak di sampingnya.
Hujan mulai reda ketika mobil Echa meluncur ke jalanan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Echa fokus menyetir mobil, dan Diza menatap keluar jendela, memikirkan apa yang akan terjadi nanti di rumah Amel.
Itu apa?” tanya Echa memecah kesunyian dalam mobil. Namun Diza tak menjawab, sepertinya ia masih sibuk dengan pikirannya.
Za!” tegur Echa, membuat Diza tersentak.
Hah?” jawab Diza kaget.
Yee… kok malah bengong,” ucap Echa sewot. “Yang kamu bawa itu apa?”
Oh, ini. Ini kado buat Amel. Sebuah cangkir putih yang terlukis foto dia dan foto kita bertiga,” ucapan Diza terdengar menggantung, “Dulu…”
Echa tak menjawab. Ia tahu, bagi Diza persahabatan adalah segala-galanya. Tidak ada yang lebih berharga daripada sahabat. Itu yang membuat Diza begitu pengertian, dan rela melakukan apapun demi sahabatnya. Tapi entah mengapa, kejadian kemarin, sepertinya membutakan mata Amel, membuat kebaikan-kebaikan Diza padanya, menghilang begitu saja, dan berganti dengan kebencian.
Kita udah sampai,” ucap Echa sambil mematikan mesin mobil. “Siap?”
Diza menatap Echa, ia menggelengkan kepala. “Kamu aja yang masuk. Aku tunggu di mobil,” ujarnya datar.
Eh, nggak bisa gitu dong,” protes Echa. “Yang punya masalah kan kamu, ya kamu yang harus maju. Kalau aku sih, cuma ikut-ikutan aja. Hehehe…” Echa terkekeh.
Dasar! Tapi kamu ikut masuk ya, aku nggak sanggup ngejelasin ke Amel sendirian,” pinta Diza.
Siiip…” Echa mengacungkan jempolnya.
Mereka turun dari mobil, menatap rumah dihadapan mereka. Dengan yakin, mereka melangkah memasuki pekarangan rumah, tampak dari kejauhan sosok Amel yang sedang duduk bercanda dengan Rio di ruang tamu.
Namun sepertinya canda itu terhenti, ketika Amel melihat Diza dan Echa di depan rumahnya. Rasa amarah memenuhi hatinya, keinginan untuk menampar Diza lagi sempat terlintas dipikirannya. Dengan nada marah, ia membentak Diza, yang baru saja selangkah memasuki pintu rumah, “Ngapain kamu kesini! Masih berani ternyata!”
Diza hanya menundukkan kepala, tak berani menatap sahabatnya. Ia tahu, bahwa Amel akan memarahinya, memakinya, bahkan mungkin mengusirnya, sebelum ia sempat berkata sepatah kata pun kebenaran.
Dia mau ngejelasin semuanya, Mel,” ujar Echa.
Ngejelasin apa? Nggak ada yang perlu dijelasin. Semuanya udah jelas, bahwa dia mau ngerebut si Rio. Dasar, cewek gatel!” maki Amel habis-habisan.
Kasih dia kesempatan ngomong dong, Mel,” pinta Echa, membela.
Oh, jadi sekarang kamu ngebela dia. Cih, nggak level banget!”
Aku nggak ngebela dia. Aku hanya ingin masalah ini selesai. Aku nggak mau persahabatan kita hancur cuma karena masalah kayak gini.”
Persahabatan kita emang udah hancur, gara-gara cewek ini! Udahlah, ngapain sih kamu bela dia, kurang kerjaan aja.” Amel tampak merendahkan.
Cukup!” Diza membuka suara. “Aku tahu, meskipun aku jelasin semuanya, itu bakal sia-sia. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa nggak ada sedikit pun niat buat ngerebut Rio dari kamu…”
Bohong!” bantah Amel.
Semua kulakukan demi kamu, Mel.” air mata Diza membasahi pipinya. Suasana mulai tak menyenangkan. Hujan mulai turun, seperti ikut menemani kesedihan Diza.
Kamu bohong! Aku nggak percaya sama kamu! Asal kamu tahu, aku udah anggap kamu sebagai musuh. Jadi, lebih baik kamu pergi dari sini. Aku nggak mau lihat kamu lagi!” usir Amel.
Mel, dengerin Diza dulu,” pinta Echa.
Pergi!!” bentak Amel dengan nada yang semakin meninggi.
Mel, maafin aku,” ucap Diza mengiba, menyerahkan bingkisan biru yang dipegangnya dari tadi, “Aku mau, kamu terima ini.”
Aku nggak butuh hadiah dari kamu.” tangan Amel merampas kado itu, dan melemparnya ke dinding. Terdengar suara pecah, bersamaan dengan kilat yang menggelegar.
Diza diam membeku. Menatap bingkisan biru yang kini berisikan pecahan-pecahan gelas. Ia tak menyangka, Amel tega melakukan hal itu. Menerima kadonya saja Amel tak mau, apalagi memaafkan dirinya. Seketika itu juga, tangisnya pecah. Ia sudah berputus asa. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan persahabatan mereka. Persahabatan mereka hancur, karena dirinya.
Diza menangis, pergi meninggalkan Echa dan Amel. Ia berlari keluar rumah, menembus hujan deras yang membasahi seluruh tubuhnya.
Diza,” panggil Echa. Ia mulai panik, takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Ia berniat menyusul, namun Amel mencegahnya.
Ngapain dikejar, cewek kayak gitu nggak usah dibela. Biarin aja dia,” kata-kata Amel terdengar sinis.
Echa menepis tangan Amel, rasa marah menyelimutinya. “Aku kecewa sama kamu. Dia udah berbuat baik sama kamu, tapi kamu malah ngelakuin itu ke dia. Justru kamu yang harusnya minta maaf.” suara Echa meninggi. Amel hanya diam, tak menanggapi perkataan Echa. “Udahlah, benar kata Diza. Kamu memang nggak bakalan mengerti dengan semuanya,”
Ia segera mengambil bingkisan biru itu, dan pergi meninggalkan Amel. Mungkin itu adalah pertemuan terakhir mereka. Tapi Echa tak peduli, ia hanya memikirkan tentang Diza. Ia tahu, pikiran Diza sedang kacau. Berada disampingnya dan menyemangatinya adalah sesuatu yang harus Echa lakukan saat ini. Setengah berlari mengejar Diza dalam hujan, ia menyadari satu hal.
Persahabatan yang hancur, seperti gelas yang pecah. Walaupun kau coba untuk memperbaikinya, tapi bekas pecahan itu masih akan membekas, dan takkan hilang.